Beranda | Artikel
Kriteria Binatang Yang Haram Di Makan
Selasa, 28 Desember 2010

KRITERIA BINATANG YANG HARAM DI MAKAN

Oleh
Ustadz Nurul Mukhlisin Asyraf

Makanan mempunyai pengaruh yang besar pada diri seseorang. Bukan saja pada badannya, tetapi pada perilaku dan akhlaknya. Bagi seorang muslim, makanan bukan saja sekedar pengisi perut dan penyehat badan, sehingga diusahakan harus sehat dan bergizi sebagaimana yang dikenal dengan nama “Empat sehat lima sempurna”, tetapi selain itu juga harus halal. Baik halal pada zat makanan itu sendiri, yaitu tidak termasuk makanan yang diharamkan oleh Allah, dan halal pada cara mendapatkannya.

Allah menegaskan bahwa Dia Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik, termasuk makanan. Dan Allah memerintahkan kepada orang mukmin sebagaimana Dia memerintahkan kepada para Rasul untuk memakan makanan yang baik, sebagaimana firman-Nya:

يَآأَيُّهَاالرُّسُلُ كُلُوا مِنَ الطَّيِّبَاتِ وَاعْمَلُوا صَالِحًا

Wahai para rasul, makanlah yang baik dan lakukanlah perbuatan yang baik [Al-Mukminun :51]

Juga Allah berfirman:

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَارَزَقْنَاكُمْ

Hai orang-orang yang beriman, makanlah yang baik dari yang telah Kami rizkikan kepadamu. [Al-Baqarah/ :172].

Karena makanan yang tidak baik atau tidak halal akan menjadikan ibadah seseorang tidak diterima oleh Allah, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Hurairah seorang laki-laki yang sedang musafir rambutnya kusut masai dan penuh debu. Dia menadahkan kedua tangannya ke langit sembari berdo’a: “Wahai Tuhanku , wahai Tuhanku, sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan perutnya diisi dengan makanan yang haram, maka kata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Bagaimana mungkin permohonannya dikabulkan? Al-Hafidz Ibnu Mardawaih meriwayatkan sebuah hadits dari Ibnu Abbas bahwa ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي الأَرْضِ حَلاَلاً طَيِّباً وَلاَ تَتَّبِعُواْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah mengikuti langkah-langkah syaitan, karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. [Al-Baqarah/2:168]

Sa’ad bin Abu Waqqash berdiri kemudian berkata: “Ya Rasulullah, doakan kepada Allah agar aku senantiasa menjadi orang yang dikabulkan do’anya oleh Allah”. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Wahai Sa’ad perbaikilah makananmu (makanlah yang halal) niscaya engkau akan menjadi orang yang selalu dikabulkan do’anya. Demi (Allah) Yang jiwaku berada di tanganNya, sungguh jika ada seseorang yang memasukkan makanan haram ke dalam perutnya, maka tidak akan diterima amal-amalnya selama empat puluh hari, dan seorang hamba yang dagingnya tumbuh dari hasil menipu dan riba maka neraka lebih layak baginya”. [HR. At-Thabrani, Ad-Durar al-Mantsur fi Tafsir bil Ma’tsur juz II hal 403]

Dalam menafsirkan ayat di atas Syekh Abdurrahman As-Sa’di berkata: “Perintah ini (memakan makanan yang halal lagi baik) ditujukan kepada seluruh manusia, baik dia mukmin atau kafir. Mereka diperintahkan memakan apa yang ada di bumi, baik berupa biji-bijian, buah-buahan, dan binatang yang halal. Yaitu diperolehnya dengan cara yang halal (benar), bukan dengan cara merampas atau dengan cara-cara yang tidak diperbolehkan. Dan Tayyiban (yang baik) maksudnya bukan termasuk makanan yang keji atau kotor, seperti bangkai, darah, daging babi, dan lainnya”. [Tafsir Taisir Karimirrahman, hal. 63].

Di antara wujud kasih sayang Allah kepada hamba-Nya adalah ditundukkan semua yang ada di bumi ini beserta isinya untuk kepentingan manusia . Allah Azza wa Jalla berfirman:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُم مَّا فِي الأَرْضِ جَمِيعاً ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاء فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendaki menuju langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. [al-Baqarah/2 : 29].

Termasuk di dalamnya adalah binatang atau hewan yang Allah tundukkan untuk manusia, baik untuk dimakan, dijadikan kendaraan atau untuk perhiasan dan hiburan. Allah Azza wa Jalla berfirman.

وَالأَنْعَامَ خَلَقَهَا لَكُمْ فِيهَا دِفْءٌ وَمَنَافِعُ وَمِنْهَا تَأْكُلُونَ {5} وَلَكُمْ فِيهَا جَمَالٌ حِينَ تُرِيحُونَ وَحِينَ تَسْرَحُونَ {6}‏

Dan Dia telah menciptakan binatang ternak untuk kamu, padanya ada (bulu) yang menghangatkan dan berbagai-bagai manfaat, dan sebahagiannya kamu makan. Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika melepaskannya ke tempat penggembalaan. [an-Nahl/16 : 5-6]

Berdasarkan ayat di atas, maka pada dasarnya apa yang ada di bumi ini adalah halal bagi manusia. Baik untuk dimakan maupun dimanfaatkan untuk keperluan yang lain. (Tafsir Karimurrahman. Hal.63) Karena Allah tidaklah menciptakan semuanya itu sia-sia, tetapi untuk kepentingan hamba-Nya. Dia tidak pernah melarang hamba-Nya untuk menikmati apa yang ada selama itu dengan cara yang Dia benarkan. Adapun beberapa makanan atau binatang yang dilarang untuk dimakan, semua itu demi kemaslahatan manusia secara lahiriah maupun batiniyah, baik itu disadari oleh manusia atau tidak.

Dengan demikian mengetahui kriteria binatang yang haram dimakan berdasarkan nas-nas agama sangat penting, agar seorang muslim bisa menghindarinya. Adapun di luar yang dilarang itu boleh-boleh saja memakannya, selama tidak menimbulkan mudharat kepada dirinya. Dan binatang tersebut tidak termasuk ke dalam golongan binatang yang haram dimakan, baik karena kesamaan jenis, bentuk atau sifat. Dari Abu Darda, Rasulullah bersabda, “Apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitabNya itulah yang halal, dan apa yang diharamkan itulah yang haram, adapun yang tidak dijelaskan termasuk yang dimaafkan bagimu. Dan terimalah pemaafan Allah, karena Allah tidak mungkin melupakan sesuatu kemudian membaca surat Maryam : 64.

وَماَ كَانَ رَبُّكَ نَسِيَّا

Dan tidaklah Tuhanmu lupa. [HR. Hakim dan dia menshahihkannya, juga diriwayatkan secara ringkas oleh Imam Bukhari bab: Ma yukrahu min kats-rati as-Su’al].

Dan tidak boleh mengharamkan sesuatu –temasuk binatang- yang tidak pernah Allah haramkan dalam Al-Qur’an atau lewat RasulNya, karena yang berhak menghalalkan dan yang mengharamkan sesuatu hanyalah Allah. Mengharamkan sesuatu yang tidak pernah Allah haramkan, atau sebaliknya termasuk iftira’ (berdusta) kepada Allah, sebagaimana firman-Nya:

وَلاَ تَقُولُواْ لِمَا تَصِفُ أَلْسِنَتُكُمُ الْكَذِبَ هَـذَا حَلاَلٌ وَهَـذَا حَرَامٌ لِّتَفْتَرُواْ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ إِنَّ الَّذِينَ يَفْتَرُونَ عَلَى اللّهِ الْكَذِبَ لاَ يُفْلِحُونَ

Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. [An-Nahl/16 : 116].

BINATANG YANG BOLEH DAN YANG HARAM DIMAKAN
Pertama : Barri (Binatang Darat).
Yaitu binatang yang sebagian besar hidupnya di darat, baik dari jenis hewan maupun burung. Binatang darat ini ada yang suci (halal), seperti: al-An’am (binatang ternak) yaitu onta, sapi, kambing, kuda, dan lainnya.

Kuda termasuk halal –walaupun sebagian ulama mengharamkan-, berdasarkan hadits Asma’ binti Abu Bakar yang berkata:

نَحَرْنَا عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَسًا فَأَكَلْنَاهُ

Pada zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam kami menyembelih kuda kemudian kami memakannya.” Dalam riwayat yang lain ditambah: “Kami berada di Madinah“ [Muttafaq Alaih].

Binatang Darat Yang Haram.
Adapun di antara binatang darat yang di haramkan untuk di makan adalah sebagai berikut:

Haram Dimakan Karena Binatangnya Sendiri (Zatnya). Seperti:
1. Babi.
Sebagaimana firman Allah.

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُب

Diharamkan bagimu [memakan] bangkai, darah, daging babi, [daging hewan] yang di sembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas kecuali yang kamu sempat menyembelihnya, dan yang disembelih untuk berhala. [Al-Maidah/5 :3]

Dari keumuman ayat di atas maka semua yang berkaitan dengan babi baik kulit, daging, minyak, lemak dan lainnya diharamkan untuk dimakan dan dimanfaatkan untuk keperluan apapun.

2. Anjing.
Ia diharamkan karena termasuk Al-Khabaits [sesuatu yang buruk dan menjijikkan] sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

شَرُّ الْكَسْبِ مَهْرُ الْبَغِيِّ وَثَمَنُ الْكَلْبِ وَكَسْبُ الْحَجَّامِ

Sejelek-jelek pendapatan adalah upah pelacur, harga anjing dan pendapatan tukang bekam. [HR.Muslim No. 1568]

Allah telah mengharamkan semua yang khabaits (jelek), dan yang buruk sebagaimana firman-Nya.

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ

Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [al-A’raf/7 : 157].

Juga hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah yang memerintahkan untuk mencuci bejana dari jilatan anjing dengan basuhan tujuh kali dan salah satunya dicampur dengan tanah ,menunjukkan keharaman dari anjing. Dalam kaidah Ushul juga dikenal Qiyas aula, yaitu kalau harganya saja diharamkan atau sebagian tubuhnya saja mesti disucikan, maka lebih diharamkan memakan binatangnya.

Dan pada dasarnya memelihara anjing dilarang oleh agama, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

مَنِ اقْتَنَى كَلْبًا إِلَّا كَلْبَ صَيْدٍ أَوْ مَاشِيَةٍ نَقَصَ مِنْ أَجْرِهِ كُلَّ يَوْمٍ قِيرَاطَانِ

Barangsiapa memelihara anjing yang bukan untuk berburu atau anjing untuk menjaga tanaman, maka kebaikannya akan berkurang dua Qirath’ setiap hari. [HR. Muslim dari Ibnu Umar]

Dalam riwayat Muslim yang lain Ibnu Umar berkata: “Kami diperintahkan untuk membunuh anjing, kecuali anjing untuk berburu dan anjing untuk menjaga tanaman.”

3. Semua Binatang Bertaring Yang Dengan Taringnya Ia Memangsa Dan Menyerang Musuhnya
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

كُلُّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ فَأَكْلُهُ حَرَامٌ

Semua binatang yang bertaring, maka memakannya adalah haram.[HR. Muslim]

Juga apa yang diriwayatkan oleh Idris Al-Khalulani, dia mendengar Abu Tsa’labah al-Khutsani berkata.

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِعَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

Rasulullah melarang memakan semua binatang yang mempunyai taring. [HR. Muslim : No 1932]

4. Semua Bangsa Burung Berkuku Yang Dengan Kukunya Ia Mencengkeram Atau Menyerang Musuh-musuhnya.
Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Ibnu Abbas:

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى يَوْمَ خَيْبَرَ عَنْ كُلِّ ذِي مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ وَ عَنْ كُلِّ ذِي نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ

Bahwa ketika perang Khaibar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan semua burung yang mempunyai kuku panjang dan setiap binatang buas yang bertaring. [HR.Muslim]

Burung yang berkuku di atas adalah yang buas, sehingga tidak termasuk sebangsa ayam, burung merpati dan sejenisnya. Abu Musa Al As’ariy Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Saya melihat Rasulullah memakan daging ayam.” [Muttafaq Alaih]

5. Binatang-Binatang Yang Diperintahkan Untuk Dibunuh.
Merupakan hikmah Allah adalah Dia memerintahkan manusia untuk membunuh beberapa jenis binatang. Karena binatang-binatang sering mengganggu dan membahayakan manusia. Karena binatang tersebut dianjurkan untuk dibunuh, maka itu sebagai isyarat atas larangan untuk memakannya. Karena kalau binatang itu boleh dimakan, maka akan menjadi mubazzir kalau sekedar dibunuh, padahal Allah melarang hambaNya untuk melakukan hal-hal yang mubazzir [Al-Isra’: 26-27].

Di antara binatang-binatang tersebut adalah sebagaimana yang disebutkan dalam hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ خَمْسٌ فَوَاسِقُ يُقْتَلْنَ فِي الْحَرَمِ الْفَأْرَةُ وَالْعَقْرَبُ وَالْحُدَيَّا وَالْغُرَابُ وَالْكَلْبُ الْعَقُورُ

Dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha Rasulullah bersabda: “Lima binatang jahat yang boleh dibunuh, baik di tanah haram atau di luarnya: tikus, kalajengking, burung buas, gagak, dan anjing hitam. [HR.Bukhari No;3136]

Termasuk binatang yang diperintahkan untuk dibunuh adalah cecak, seperti yang diriwayatkan oleh Sa’ad bin Abi Waqqash, dia berkata:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَمَرَ بِقَتْلِ الْوَزَغِ وَسَمَّاهُ فُوَيْسِقًا

Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh cecak, dan beliau dinamakan Fuwaisiqah (binatang jahat yang kecil)”. [HR. Muslim]

Pada riwayat lain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ قَتَلَ وَزَغًا فِي أَوَّلِ ضَرْبَةٍ كُتِبَتْ لَهُ مِائَةُ حَسَنَةٍ وَفِي الثَّانِيَةِ دُونَ ذَلِكَ وَفِي الثَّالِثَةِ دُونَ ذَلِكَ

Barangsiapa membunuh cecak dengan sekali pukulan, ditulis baginya seratus kebajikan, barangsiapa yang membunuhnya pada pukulan yang kedua maka baginya kurang dari itu, dan pada pukulan yang ketiga baginya kurang dari itu. [HR. Muslim]

6. Binatang-Binatang Yang Dilarang Untuk Dibunuh.
Sebaliknya ada beberapa jenis binatang yang dilarang oleh agama untuk dibunuh. Maka dilarangnya membunuh binantang itu, berarti dilarang pula memakannya. Karena kalau binatang itu termasuk yang boleh dimakan, bagaimana cara memakannya kalau dilarang membunuhnya? Di antara binatang tersebut adalah seperti yang disebutkan dalam riwayat Ibnu Abbas, beliau berkata:

إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ قَتْلِ أَرْبَعٍ مِنَ الدَّوَابِّ النَّمْلَةُ وَالنَّحْلَةُ وَالْهُدْهُدُ وَالصُّرَدُ

Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuh empat jenis binatang, yaitu: semut, lebah, burung hud-hud dan burung shurad (sejenis burung gereja). [HR. Abu Daud, Kitab al-Adab, Bab fi Qatli Ad-Dzur No; 5267].

Sebagian ulama berpendapat bahwa kodok termasuk dalam hal ini. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin Utsman, seorang thabib (dokter) datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa salalm dan bertanya tentang kodok yang dibuat menjadi obat, dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membunuhnya. [HR.Ahmad, Nasa’i dan dishahihkan oleh Al-Hakim]

Kodok bisa hidup di dua tempat di air dan di darat, seperti halnya buaya, maka sebagia ulama mengharamkannya.

7. Binatang Yang Lahir Dari Perkawinan Dua Jenis Binatang Yang Berbeda, Yang Salah Satunya Halal Dan Yang Lainnya Haram.
Hal ini karena memasukkannya ke binatang yang haram lebih baik dari menghubungkannya kepada induknya yang halal. Seperti Bighal yang lahir dari keledai negeri yang haram dimakan dan kuda yang boleh dimakan.

8. Binatang Yang Menjijikkan.
Semua yang menjijikkan -termasuk binatang – diharamkan oleh Allah. Sebagaimana firmanNya:

وَيُحَرِّمُ عَلَيْهِمُ الْخَبَآئِثَ

Dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk. [Al-A’raf/7 : 157].

Namun kriteria binatang yang buruk dan menjijikkan pada setiap orang dan tempat pasti berbeda. Ada yang menjijikkan pada seseorang misalnya, tetapi tidak menjijikkan pada yang lainnya. Maka yang dijadikan standar oleh para ulama’ adalah tabiat dan perasaan yang normal (salim) dari orang Arab yang tidak terlalu miskin yang membuatnya memakan apa saja. Karena kepada merekalah Al-Qur’an diturunkan pertama kali dan dengan bahasa merekalah semuanya dijelaskan. Sehingga merekalah yang paling mengetahui mana binatang yang menjijikkan atau tidak. (lihat penjelasan syekhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa, juz 9 hal. 26 dan seterusnya).

Kalau binatang itu tidak diketahui oleh orang Arab, karena tidak ada binatang sejenis yang hidup di sana, maka dikiyaskan (dianalogikan) dengan binatang yang paling dekat kemiripannya dengan binatang yang ada di Arab. Jika ia mirip dengan binatang yang haram maka diharamkan, dan sebaliknya. Tetapi jika tidak ada yang mirip dengan binatang tersebut maka dikembalikan kepada urf (tradisi) penduduk setempat. Kalau kebanyakan menganggapnya tidak menjijikkan, Imam at-Thabari membolehkan untuk dimakan, karena pada asalnya semua binatang boleh dimakan, kecuali kalau itu membahayakan.

Binatang Yang Haram Dimakan karena Faktor Yang Datang Dari Luar.
Di antaranya adalah sebagai berikut;
1. Binatang sembelihan yang tidak disebutkan nama Allah ketika menyembelihnya.
Sebagaimana firman Allah

وَلاَ تَأْكُلُواْ مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ

Dan janganlah kamu memakan binatang –binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. [Al-An’am : 121].

2. Bangkai
Yaitu binatang yang mati dengan tidak disembelih; atau binatang yang disembelih tetapi dengan cara yang tidak sesuai dengan syariat; atau disembelih sesuai dengan syariat tetapi dengan tujuan yang tidak dibenarkan oleh syara’, seperti penyembelihan yang dipersembahkan kepada dewa atau ritual-ritual kesyirikan lainnya. Sebagaimana firman Allah

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالْدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ وَالْمُنْخَنِقَةُ وَالْمَوْقُوذَةُ وَالْمُتَرَدِّيَةُ وَالنَّطِيحَةُ وَمَا أَكَلَ السَّبُعُ إِلاَّ مَا ذَكَّيْتُمْ وَمَا ذُبِحَ عَلَى النُّصُب

Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, dan (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang kamu sempat menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. [Al-Maidah/5 : 3].

Termasuk sembelihan yang tidak boleh dimakan adalah sembelihan-sembelihan yang ditujukan untuk arwah-arwah orang yang telah mati, arwah-arwah dewa, jin dan lainnya. Begitu juga sembelihan orang Nashrani dan orang-orang non muslim yang dilakukan pada kesempatan acara ritual dan upacara keagamaan mereka. Karena semuanya termasuk ke dalam sembelihan yang disembelih untuk selain Allah.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam menafsirkan firman Allah وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللّهِ بِهِ berkata: “Zahir ayat ini menunjukkan larangan menyembelih untuk selain Allah, seperti mengatakan: “Sembelihan ini ditujukan untuk si fulan”, dan lainnya. Kalau ini yang dimaksud maka diucapkan atau tidak sama saja. Dan ini lebih diharamkan daripada mengatakan: “Saya menyembelih dengan nama Al-Masih”, atau seumpamanya. Apabila menyembelih dengan nama al-Masih atau al-Zahrah diharamkan, maka menyembelih untuk dipersembahkan demi al-Masih atau al-Zahrah lebih diharamkan.

Oleh karena itu menyembelih karena selain Allah untuk mendekatkan diri kepadanya termasuk yang diharamkan. Sekalipun mereka membaca basmalah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok munafik dari umat ini yang mendekatkan dirinya kepada bintang-bintang dengan sembelihan dan lainnya. Begitu juga yang dilakukan oleh orang jahiliyah di Makkah yang menyembelih untuk jin, oleh karena itulah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang memakan sembelihan yang ditujukan untuk jin. [Lihat Fathul Majid hal. 126].

Az-Zamakhsyari mencontohkan, kebiasaan orang-orang Jahiliyah apabila membeli rumah atau membangun rumah baru, mereka mengeluarkan jin yang ada di dalamnya dengan menyembelih sesembelihan, hal itu dilakukan karena takut diganggu oleh jin.

Ibrahim al-Marwazi juga menyebutkan bahwa sembelihan yang dilakukan ketika menyambut pemimpin untuk mendekatkan diri kepadanya, telah difatwakan keharamannya oleh ulama-ulama Bukhara, karena termasuk yang disembelih karena selain Allah. [Lihat Fathul Majid hal. 127]

Orang yang melakukan penyembelihan karena selain Allah telah melakukan satu kesyirikan, karena menyembelih juga termasuk ibadah yang harus dilakukan karena Allah dan untuk Allah sebagaimana firman Allah:

قُلْ إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي للهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ {162} لاَشَرِيكَ لَهُ وَبِذّلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِينَ

Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku krena Allah pemilik sekalian alam. Tidak ada sekutu bagiNya dan demikianlah kami diperintahkan dan saya termasuk orang-orang yang muslim. [Al-An’am: 162-163].

Orang yang melakukan penyembelihan untuk selain Allah akan mendapat laknat dari Allah, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ali bin Abi Thalib.

Termasuk juga katagori bangkai adalah daging yang diambil dari binatang yang masih hidup. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Waaqid al-Laitsi, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Apa yang diambil dari binatang yang masih hidup adalah termasuk bangkai”. [HR. Abu Daud].

Namun ada juga bangkai yang boleh dimakan, yaitu bangkai ikan dan belalang, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أُحِلَّتْ لَكُمْ مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ فَالْحُوتُ وَالْجَرَادُ وَأَمَّا الدَّمَانِ فَالْكَبِدُ وَالطِّحَالُ

Dihalalkan bagi kita dua bangkai,…yaitu ikan dan belalang. [HR.Ibnu Majah, Shahih lihat Silsilah Shahihah No;1118]

3. Jalalah
Yaitu binatang yang sebagian besar makanannya adalah sesuatu yang kotor atau najis, seperti bangkai atau kotoran lainnya. Walaupun pada awalnya ia adalah binatang yang halal dimakan, tetapi menjadi tidak boleh dimakan apabila binatang tersebut tidak mau makan atau lebih banyak memakan sesuatu yang kotor. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin umar, beliau berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ أَكْلِ الْجَلَّالَةِ وَأَلْبَانِهَا

Rasulullah melarang memakan Jalalah dan meminum susunya. [HR.Abu Daud, Kitab al-At’imah,Bab An-Nahyu an Aklil Jalah Wa Albaniha, No; 3785]

Dalam riwayat lain ditambahkan:
Rasulullah melarang memakan Jalalah dari onta, menunggangnya, dan meminum susunya. [HR.Abu Daud, Kitab al-At’imah,Bab An-Nahyu an Aklil Jalah Wa Albaniha, No; 376].

Agar Jalalah tersebut menjadi halal diharuskan untuk dikurung minimal tiga hari, dan diberi makanan yang bersih atau suci, sebagaimana yang dicontohkan oleh Ibnu Umar bahwa beliau pernah mengurung ayam yang suka makan makanan yang kotor tiga hari (Hadits Shahih riwayat Ibnu Abi Syaibah, Irwa’ No.2504).

Maksud pengurungan itu adalah untuk mengembalikan binatang tersebut menjadi normal, yaitu memakan makanan bersih yang biasa dia makan, sekalipun harus mengurungnya lebih dari tiga hari atau kurang dari itu.

Kedua : Bahrii (Binatang Laut)
Yaitu binatang yang tidak bisa hidup kecuali di dalam air, jika tinggal di darat dalam waktu yang lama akan mati. Adapun binatang air yang sekali-kali bisa hidup di darat, seperti kepiting, dan lainnya, maka menurut jumuhur ulama dari mazhab Maliki, Syafii, dan Ahmad adalah suci dan boleh dimakan. Inilah yang lebih kuat karena keumuman hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, beliau bertanya kepada Rasulullah tentang berwudhu’ menggunakan air laut, Nabi bersabda:

هُوَ الطَّهُورُ مَاؤُهُ الْحِلُّ مَيْتَتُهُ

Laut itu suci airnya dan halal bangkainya. [HR.Tirmidzi, Kitab Abwab Atthaharah, Bab Maa jaa Fi Maa’il Bahri annahu thahur No.69]

Imam Tirmidzi berkata tentang hadits di atas: Hadits ini shahih dan itulah yang dipegang oleh kebanyakan sahabat di antaranya Abu Bakar, Umar, Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhum.

Tetapi ada sebagian sahabat yang memakruhkan bersuci dengan air laut, seperti Abdullah bin Umar dan Abdullah bin ‘Amr [Sunan Tirmidzi I/100].

Juga sebagaimana yang diceritakan oleh sahabat Jabir bin Abdullah ketika mengikuti sebuah peperangan dan mengalami kelaparan yang sangat, kemudian tiba-tiba ada ikan besar yang sudah mati terdampar di tepi laut, yang tidak pernah dilihat sebelumnya, Jabir berkata: “Kemudian kami memakannya setengah bulan. Dan Abu Ubaidah mengambil salah satu tulangnya dan orang yang menunggang kuda bisa lewat di bawahnya. Abu Ubaidah berkata: “Makanlah!”. Ketika sampai di Madinah kami menceritakan semuanya kepada Nabi, kemudian beliau bersabda: “Makanlah!”, itu adalah rizki yang dikeluarkan oleh Allah untuk dimakan. Kemudian beliau meminta sisa ikan yang ada dan beliau juga ikut memakannya. [HR. Bukhari No. 4104].

Adapun binatang laut yang mempunyai nama dan bentuk seperti binatang darat misalnya anjing laut, babi laut, maka terjadi perbedaan pendapat di antara ulama. Mayoritas ulama mengatakan boleh dimakan, karena keumuman hadits yang menyebutkan air laut suci dan bangkainya boleh dimakan. Namun sebagian di antara mereka mengharuskan untuk disembelih terlebih dahulu karena termasuk binatang yang mempunyai darah yang mengalir dan ini juga agar lebih cepat terbunuhnya. [Majmu’ Syarah Muhazzab, Imam An-Nawawi, kitab al-Ath’imah]

MAKAN YANG HARAM DALAM KEADAAN TERPAKSA
Allah berfirman.

إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ

Sesungguhnya yang diharamkan bagimu hanyalah: bangkai, darah, daging babi, dan apa yang disembelih karena selain Allah. Barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampau batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Al-Baqarah/2 : 173]

Ibnu Katsir berkata: “Barang siapa sangat butuh kepada makanan yang haram yang telah disebutkan oleh Allah karena dharurat (keterpaksaan) yang dihadapinya, maka boleh dia memakannya. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang kepadanya. Dan Allah mengetahui kebutuhan hamba-Nya ketika dia dalam keterpaksaan. Sehingga Dia memaafkan dan membolehkannya untuk memakan sesuatu yang diharamkan-Nya. Diriwayatkan oleh Ibnu Umar, Rasulullah bersabda: “ Sesungguhnya Allah senang rukhsah-Nya (keringanan yang Dia berikan) dilakukan, sebagaimana Dia tidak senang larangan-Nya dilakukan. [Hadits Shahih, Irwa’ No. 564)]

Bahkan memakan binatang yang haram tersebut, hukumnya bisa wajib ketika keadaannya memaksa, yang kalau itu tidak dimakan ia akan mati. Tetapi apakah memakan yang haram tersebut hanya untuk sekedar pengganjal perut saja, atau boleh sampai kenyang?, merupakan khilaf di antara ulama’. Namun ada qaidah yang mengatakan “Addharuraat Tuqaddaru bi qadariha“ (keterpaksaan diukur sesuai dengan ukurannya). Dan tidak ada batasan waktu, seperti: harus tidak lebih dari tiga hari, sebagaimana yang dipahami oleh kebanyakan orang awam, tetapi kapan saja dia terpaksa dia boleh memakannya, selama dia tidak berpura-pura terpaksa. [Fiqhul Wajiz, Syaikkh Abdul Adzim bin Badawi Al-Khalafi, hal. 397]

Rujukan.

  1. Kitab Al-Ath’imah (Risalah Dukturah ) Syekh Shalih Al-Faudzan
  2. Al-Wajiz Fi Fiqhi Asunnah wal Kitab AL-Aziz, Syekh Abdul Adzim Al-Khalafi
  3. Bulughul Maram, Al-Hafiz Ibnu Hajar Al-Asqalani
  4. Kebanyakan rujukan juga di ambil dari disket di dalam komputer yang tidak mencantumkan halaman dan penerbitnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun VI/1423H/2002M Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 08121533647, 08157579296]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2934-kriteria-binatang-yang-haram-di-makan.html